Pengukuran
Tingkat Kesehatan Bank di Indonesia dengan menggunakan metode CAMEL
Kebijakan perbankan yang dikeluarkan
dan dilaksanankan oleh BI pada dasarnya adalah ditujukan untuk menciptakan dan
memelihara kesehatan, baik secara individu maupun perbankan sebagai suatu
sistem. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah seperti apakah bank yang disebut
sehat itu?
Apa saja yang menjadi indikator
kesehatan sebuah bank dan bagaimana pengukurannya?
Pengertian
Tingkat Kesehatan Bank
Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa bank yang sehat adalah bank yang dapat menjalankan fungsi-fungsinya
dengan baik. Dengan kata lain, bank yang sehat adalah bank yang dapat menjaga
dan memelihara kepercayaan masyarakat, dapat menjalankan fungsi intermediasi,
dapat membantu kelancaran lalu lintas pembayaran serta dapat digunakan oleh
pemerintah dalam melaksanakan berbagai kebijakannya, terutama kebijakan
moneter. Dengan menjalankan fungsi-fungsi tersebut diharapkan dapat memberikan
pelayanan yang baik kepada masyarakat serta bermanfaat bagi perekonomian secara
keseluruhan.
Untuk dapat menjalankan fungsinya
dengan baik, bank harus mempunyai modal yang cukup, menjaga kualitas asetnya
dengan baik, dikelola dengan baik dan dioperasikan berdasarkan prinsip
kehati-hatian, menghasilkan keuntungan yang cukup untuk mempertahankan
kelangsungan usahanya, serta memelihara likuiditasnya sehingga dapat memenuhi
kewajibannya setiap saat. Selain itu, suatu bank harus senantiasa memenuhi
berbagai ketentuan dan aturan yang telah ditetapkan, yang pada dasarnya berupa
berbagai ketentuan yang mengacu pada prinsip-prinsip kehati-hatian di bidang
perbankan.
Penilaian
Tingkat Kesehatan Bank
Penilaian tingkat kesehatan bank di
Indonesia sampai saat ini secara garis besar didasarkan pada faktor CAMEL
(Capital, Assets Quality, Management, Earning dan Liquidity). Seiring dengan
penerapan risk based supervision, penilaian tingkat kesehatan juga memerlukan
penyempurnaan. Saat ini BI tengah mempersiapkan penyempurnaan sistem penilaian
bank yang baru, yang memperhitungkan sensitivity to market risk atau risiko
pasar. Dengan demikian faktor-faktor yang diperhitungkan dalam system baru ini
nantinya adalah CAMEL. Kelima faktor tersebut memang merupakan faktor
yang menentukan kondisi suatu bank. Apabila suatu bank mengalami permasalahan
pada salah satu faktor tersebut (apalagi apabila suatu bank mengalami permasalahan
yang menyangkut lebih dari satu faktor tersebut), maka bank tersebut akan
mengalami kesulitan.
Sebagai contoh, suatu bank yang
mengalami masalah likuiditas (meskipun bank tersebut modalnya cukup, selalu
untung, dikelola dengan baik, kualitas aktiva produktifnya baik) maka apabila
permasalahan tersebut tidak segera dapat diatasi maka dapat dipastikan bank
tersebut akan menjadi tidak sehat. Pada waktu terjadi krisis perbankan di
Indonesia sebetulnya tidak semua bank dalam kondisi tidak sehat, tetapi karena
terjadi rush dan mengalami kesulitan likuiditas, maka sejumlah bank yang
sebenarnya sehat menjadi tidak sehat.
Meskipun secara umum faktor CAMEL
relevan dipergunakan untuk semua bank, tetapi bobot masing-masing faktor akan
berbeda untuk masing-masing jenis bank. Dengan dasar ini, maka penggunaan
factor CAMEL dalam penilaian tingkat kesehatan dibedakan antara bank umum dan
BPR. Bobot masing-masing faktor CAMEL untuk bank umum dan BPR ditetapkan
sebagai berikut :
Tabel Bobot CAMEL
No.
|
Faktor CAMEL
|
Bobot
|
|
Bank Umum
|
BPR
|
||
1.
2.
3.
4.
5.
|
Permodalan
Kualitas
Aktiva Produktif
Kualitas
Manajemen
Rentabilitas
Likuiditas
|
25%
30%
25%
10%
10%
|
30%
30%
20%
10%
10%
|
Perbedaan penilaian tingkat
kesehatan antara bank umum dan BPR hanya pada bobot masing-masing faktor CAMEL.
Pelaksanaan penilaian selanjutnya dilakukan sama tanpa ada pembedaan antara
bank umum dan BPR. Dalam uraian berikut, yang dimaksud dengan penilaian bank
adalah penilaian bank umum dan BPR.
Dalam melakukan penilaian atas
tingkat kesehatan bank pada dasarnya dilakukan dengan pendekatan kualitatif
atas berbagai faktor yang berpengaruh terhadap kondisi dan perkembangan suatu
bank. Pendekatan tersebut dilakukan dengan menilai faktor-faktor permodalan,
kualitas aktiva produktif, manajemen, rentabilitas dan likuiditas.
Pada tahap awal penilaian tingkat
kesehatan suatu bank dilakukan dengan melakukan kuantifikasi atas komponen dari
masing-masing factor tersebut. Faktor dan komponen tersebut selanjutnya diberi
suatu bobot sesuai dengan besarnya pengaruh terhadap kesehatan suatu bank.
Selanjutnya, penilaian faktor dan
komponen dilakukan dengan system kredit yang dinyatakan dalam nilai kredit
antara 0 sampai 100. Hasil penilaian atas dasar bobot dan nilai kredit
selanjutnya dikurangi dengan nilai kredit atas pelaksanaan ketentuan-ketentuan
yang lain yang sanksinya dikaitkan dengan tingkat kesehatan bank.
Berdasarkan kuantifikasi atas
komponen-komponen sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya masih dievaluasi
lagi dengan memperhatikan informasi dan aspek-aspek lain yang secara materiil
dapat berpengaruh terhadap perkembangan masing-masing faktor. Pada akhirnya,
akan diperoleh suatu angka yang dapat menentukan predikat tingkat kesehatan
bank, yaitu Sehat, Cukup Sehat, Kurang Sehat dan Tidak Sehat.
Berikut ini penjelasan metode CAMEL
:
1. Capital
Kekurangan modal merupakan gejala
umum yang dialami bank-bank di negara-negara berkembang. Kekurangan modal
tersebut dapat bersumber dari dua hal, yang pertama adalah karena modal yang
jumlahnya kecil, yang kedua adalah kualitas modalnya yang buruk. Dengan
demikian, pengawas bank harus yakin bahwa bank harus mempunyai modal yang
cukup, baik jumlah maupun kualitasnya. Selain itu, para pemegang saham maupun
pengurus bank harus benar-benar bertanggung jawab atas modal yang sudah
ditanamkan.
Berapa modal yang cukup tersebut?
Pada saat ini persyaratan untuk mendirikan bank baru memerlukan modal disetor
sebesar Rp. 3 trilyun. Namun bank-bank yang saat ketentuan tersebut
diberlakukan sudah berdiri jumlah modalnya mungkin kurang dari jumlah
tersebut. Pengertian kecukupan modal tersebut tidak hanya dihitung dari jumlah
nominalnya, tetapi juga dari rasio kecukupan modal, atau yang sering disebut
sebagai Capital Adequacy Ratio (CAR). Rasio tersebut merupakan perbandingan
antara jumlah modal dengan aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR). Pada saat
ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku, CAR suatu bank sekurang-kurangnya
sebesar 8%.
2. Assets Quality
Dalam kondisi normal sebagian besar
aktiva suatu bank terdiri dari kredit dan aktiva lain yang dapat menghasilkan
atau menjadi sumber pendapatan bagi bank, sehingga jenis aktiva tersebut sering
disebut sebagai aktiva produktif. Dengan kata lain, aktiva produktif adalah
penanaman dana Bank baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk
pembiayaan, piutang, surat berharga, penempatan, penyertaan modal, penyertaan
modal sementara, komitmen dan kontijensi pada transaksi rekening administratif.
Di dalam menganalisis suatu bank pada umumnya perhatian difokuskan pada
kecukupan modal bank karena masalah solvensi memang penting. Namun demikian,
menganalisis kualitas aktiva produktif secara cermat tidaklah kalah pentingnya.
Kualitas aktiva produktif bank yang sangat jelek secara implisit akan menghapus
modal bank. Walaupun secara riil bank memiliki modal yang cukup besar, apabila
kualitas aktiva produktifnya sangat buruk dapat saja kondisi modalnya menjadi
buruk pula. Hal ini antara lain terkait dengan berbagai permasalahan seperti
pembentukan cadangan, penilaian asset, pemberian pinjaman kepada pihak terkait,
dan sebagainya. Penilaian terhadap kualitas aktiva produktif di dalam ketentuan
perbankan di Indonesia didasarkan pada dua rasio yaitu:
1)
Rasio Aktiva Produktif Diklasifikasikan terhadap Aktiva
Produktif (KAP 1). Aktiva Produktif Diklasifikasikan
menjadi Lancar, Kurang Lancar, Diragukan dan Macet. Rumusnya adalah :

Penilaian rasio KAP dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
- Untuk rasio sebesar 15,5 % atau
lebih diberi nilai kredit 0 dan
- Untuk setiap penurunan 0,15%
mulai dari 15,49% nilai kredit ditambah 1 dengan maksimum 100.
2)
Rasio Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif terhadap Aktiva
Produktif yang diklasifikasikan (KAP
2). Rumusnya adalah :
Penilaian rasio KAP untuk
perhitungan PPAP dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut untuk rasio 0 %
diberi nilai kredit 0 dan untuk setiap kenaikan 1 % dari 0 % nilai kredit
ditambah 1 dengan maksimum 100.
3. Management
Manajemen atau pengelolaan suatu
bank akan menentukan sehat tidaknya suatu bank. Mengingat hal tersebut, maka
pengelolaan suatu manajemen sebuah bank mendapatkan perhatian yang besar dalam
penilaian tingkat kesehatan suatu bank diharapkan dapat menciptakan dan
memelihara kesehatannya.
Penilaian faktor manajemen dalam
penilaian tingkat kesehatan bank umum dilakukan dengan melakukan evaluasi
terhadap pengelolaan terhadap bank yang bersangkutan. Penilaian tersebut
dilakukan dengan mempergunakan sekitar seratus kuesioner yang dikelompokkan
dalam dua kelompok besar yaitu kelompok manajemen umum dan kuesioner manajemen
risiko. Kuesioner kelompok manajemen umum selanjutnya dibagi ke dalam sub
kelompok pertanyaan yang berkaitan dengan strategi, struktur, sistem, sumber
daya manusia, kepemimpinan, budaya kerja. Sementara itu, untuk kuesioner
manajemen risiko dibagi dalam sub kelompok yang berkaitan dengan risiko
likuiditas, risiko pasar, risiko kredit, risiko operasional, risiko hukum dan
risiko pemilik dan pengurus.
4. Earning
Salah satu parameter untuk mengukur
tingkat kesehatan suatu bank adalah kemampuan bank untuk memperoleh keuntungan.
Perlu diketahui bahwa apabila bank selalu mengalami kerugian dalam kegiatan
operasinya maka tentu saja lama kelamaan kerugian tersebut akan memakan
modalnya. Bank yang dalam kondisi demikian tentu saja tidak dapat dikatakan
sehat.
Penilaian didasarkan kepada
rentabilitas atau earning suatu bank yaitu melihat kemampuan suatu bank dalam
menciptakan laba. Penilaian dalam unsur ini didasarkan pada dua macam, yaitu :
Penilaian rasio earning 1 dapat
dilakukan sebagai berikut untuk rasio 0 % atau negatif diberi nilai kredit 0,
dan untuk setiap kenaikan 0,015% mulai dari 0% nilai kredit ditambah dengan
nilai maksimum 100.
2)
Rasio Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (Earning 2). Rumusnya
adalah :
Penilaian earning 2 dapat dilakukan
sebagai berikut untuk rasio sebesar 100% atau lebih diberi nilai kredit 0 dan
setiap penurunan sebesar 0,08% nilai kredit ditambah 1 dengan maksimum 100.
5. Liquidity
Penilaian terhadap faktor likuiditas
dilakukan dengan menilai dua buah rasio, yaitu rasio Kewajiban Bersih Antar
Bank terhadap Modal Inti dan rasio Kredit terhadap Dana yang Diterima oleh
Bank. Yang dimaksud Kewajiban Bersih Antar Bank adalah selisih antara kewajiban
bank dengan tagihan kepada bank lain. Sementara itu yang termasuk Dana yang
Diterima adalah Kredit Likuiditas Bank Indonesia, Giro, Deposito, dan Tabungan
Masyarakat, Pinjaman bukan dari bank yang berjangka waktu lebih dari tiga bulan
(tidak termasuk pinjaman subordinasi), Deposito dan Pinjaman dari bank lain
yang berjangka waktu lebih dari tiga bulan, dan surat berharga yang diterbitkan
oleh bank yang berjangka waktu lebih dari tiga bulan.
Liquidity yaitu rasio untuk menilai
likuiditas bank. Penilaian likuiditas bank didasarkan atas dua maca rasio,
yaitu :
1)
Rasio jumlah kewajiban bersih call money terhadap Aktiva Lancar. Rumusnya
adalah :
Penilaian likuiditas dapat dilakukan
sebagai berikut untuk rasio sebesar 100% atau lebih diberi nilai kredit 0, dan
untuk setiap penurunan sebesar 1% mulai dari nilai kredit ditambah 1 dengan
maksimum 100.
2)
Rasio antara Kredit terhadap dana yang diterima oleh bank. Rumusnya adalah :
Penilaian likuiditas 2 dapat
dilakukan sebagai berikut untuk rasio 115 atau lebih diberi nilai kredit 0 dan
untuk setiap penurunan 1% mulai dari rasio 115% nilai kredit ditambah 4 dengan
nilai maksimum 100.
Cara Baru Menilai Kesehatan Bank
BI kembali membuat regulasi baru yang dapat dianggap sebagai tonggak sejarah pada tahap konsolidasi perbankan di Indonesia. Bank pun kembali direpotkan untuk membuat raport dengan cara perhitungan terbaru yang mulai diberlakukan nanti per Januari 2012. Sesuai dengan kerangka waktu yang tertuang dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API), tahun 2012 menjadi tahun yang sangat penting untuk melihat target atau indikator perkembangan kinerja perbankan nasional. Sayangnya, raport bank tersebut hanya diketahui oleh Direksi, Komisaris, dan BI saja. Masyarakat pun hanya menduga-duga apakah sebuah bank itu penuh angka merah atau tidak dalam raport tersebut. Dengan demikian, masyarakat awam tidak akan pernah tahu kinerja bank sampai daleman-nya. Masyarakat hanya bisa merasakan kinerja bank dari kualitas layanan yang diterima, atau paling banter, menganggap sebuah bank dipersepsikan kurang baik jika bank tersebut sering didera kasus-kasus negatif yang mencuat di media masa.Pada tanggal 5 Januari 2011 Bank Indonesia telah mengeluarkan PBI nomor 13/1/PBI/2011 tanggal 5 Januari 2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. Tingkat Kesehatan Bank adalah hasil penilaian kondisi Bank yang dilakukan terhadap risiko dan kinerja Bank. Penilaian tingkat kesehatan bank umum tersebut menggantikan PBI sebelumnya Nomor No. 6/10/PBI/2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum yang telah berlaku selama hampir tujuh tahun. Namun PBI terbaru tersebut baru berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2012. Bank-bank di Indonesia diberikan waktu sekitar satu tahun untuk menggunakan sistem penilaian yang baru. Secara umum PBI tersebut tidak berubah drastis seperti ketika penilaian tingkat kesehatan bank umum tahun 2004 (yang lebih populer dengan CAMELS) menggantikan PBI sebelumnya (CAMEL).
Versi 2004
Struktur atau komponen penilaian CAMELS tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia nomor 6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 serta ketentuan pelaksanaannya sesuai Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004. CAMELS 2004 menggantikan tata cara perhitungan kesehatan bank sebelumnya yang diberlakukan pada tahun 2004 sesuai dengan PBI Nomor 6/10/PBI/2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum dan SE No.6/ 23 /DPNP pada tanggal 31 Mei 2004. Semua komponen pada CAMELS 2004 lebih mengarah pada ukuran-ukuran kinerja perusahaan secara internal, mulai dari Asset Quality, Management, Earning Power, dan Liquidity, serta Sensitivity to Market Risk. Sistem penilaian dengan 6 faktor tersebut sering disebut dengan CAMELS Rating System.
Jika dibandingkan dengan sistem penilaian kesehatan sebelumnya yaitu dengan metoda CAMEL- tanpa faktor S yaitu Sensitivity to Market Risk- sistem yang akan berakhir pada tahun 2011 ini memang lebih komprehensif, atau bisa diartikan lebih banyak komponen atau rasio-rasio yang dinilainya, termasuk penambahan komponen baru yaitu Sensitivity to market risk . Sebagai lembaga keuangan yang juga mengambil alih resiko dalam pengelolaan dana masyarakat, kepekaaan terhadap resiko pasar tidak bisa dipungkiri merupakan prinsip perbankan yang tidak bisa ditawar. Namun, Bank Indonesia akan lebih elok jika memperluas pengertian kepekaan tersebut dengan mendorong kepedulian bank terhadap pembangunan nasional yang terasa masih megap-megap, atau kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat yang telah rela menyimpan dananya di bank.
Penilaian CAMELS tidak hanya bersifat kuantitatif saja, namun juga mempertimbangkan aspek kualitatif dalam bentuk expert judgment- baik dari penilai dari bank yang bersangkutan maupuan dari pemeriksa di BI. Inilah perbedaan yang signifikan dari CAMELS dibandingkan CAMEL. Pada CAMEL, sebagian besar proses penilaian kesehatan bank menggunakan rumus-rumus matematika dan sistem scoring dari hasil penilaiaj untuk setiap parameter, yaitu dengan skala 0 sampai 100. Dan nilai akhir dari kesehatan bank pun akhirnya berupa angka yang selanjutnya menentukan klasifikasi kesehatan bank yaitu “Sehat”, “Cukup Sehat”, “Kurang Sehat” dan “Tidak Sehat”. Sedangkan pada versi CAMELS menggunakan matriks penilaian yang tidak hanya sekedar pendekatan kuantitatif saja. Hasil akhirnya pun adalah “Komposit 1″ yang identik “sangat baik” atau “sehat” sampai “Komposit 5″ yang bisa dikategorikan “buruk” atau “tidak sehat”.
Reinkarnasi CAMELS
Penyempurnaan penilaian kesehatan bank dilatarbelakangi oleh Perubahan kompleksitas usaha dan profil risiko, penerapan pengawasan secara konsolidasi, serta perubahan pendekatan penilaian kondisi Bank yang diterapkan secara internasional mempengaruhi pendekatan penilaian Tingkat Kesehatan Bank. Secara substantif memang ada beberapa perubahan faktor-faktor penilaian, namun dari sisi prinsip dan proses perhitungan tingkat kesehatan, PBI nomor 13/1/PBI/2011 tersebut tidak jauh berbeda dengan PBI Nomor 6/10/PBI/2004 . Mari kita lihat sekilas perbandingan antara keduanya.
Pertama, penilaian tetap bersifat self-assessment oleh masing-masing bank yang dilakukan setiap semester, namun pihak BI akan melakukan pemeriksaan sebagai langkah validasi atau konfirmasi terhadap penilaian yang dilakukan oleh pihak bank. Apabila terdapat perbedaan hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan hasil self assesment oleh pihak bank maka yang berlaku adalah hasil penilaian tingkat kesehatan bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Hasil self-assessment tersebut wajib diketahui oleh Direksi dan dilaporkan kepada Dewan Komisaris dan BI. BI secara eksplisit tidak mewajibkan hasil akhir penilaian kesehatan bank tersebut dipublikasikan secara detail kepada masyarakat. Masyarakat hanya bisa melihat posisi keuangan bank secara umum dan beberapa rasio keuangan saja, misalnya Capital Adequacy Ratio, Efisiensi Biaya, dan Kualitas Aktiva Produktif. Jadi jangan harap hasil penilaian lengkap untuk setiap faktor dan komponen terungkap ke publik.
Kedua, skala atau predikat penilaian masih sama dengan sebelumnya yaitu “Peringkat 1″ sampai “Peringkat 5″ dimana urutan peringkat faktor yang lebih kecil mencerminkan kondisi Bank yang lebih baik. Sedangkan hasil akhir penilaiannya disebut Peringkat Komposit yaitu peringkat akhir hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank. Misalnya, Peringkat 1 mencerminkan kondisi Bank yang secara umum sangat sehat sehingga dinilai sangat mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya, sedangkan Peringkat 5 mencerminkan kondisi Bank yang secara umum tidak sehat sehingga dinilai tidak mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya. Pada penilaian sebelumnya berdasarkan PBI Nomor 6/10/PBI/2004, BI telah menyediakan kerangka kerja atau lembar kerja yang menjelaskan bagaimana menghitung dan menilai setiap indikator. Panduan tersebut disajikan dalam bentuk matriks. Untuk PBI tahun 2011 ini, panduan dalam acuan matriks tersebut belum disediakan oleh Bank Indonesia.
Ketiga, versi 2011 hanya pengelompokan dan pembobotan ulang terhadap faktor atau dimensi penilaian-yang dari segi cakupan relative tidak banyak berubah. PBI yang baru menggolongkan faktor penilaian menjadi hanya empat faktor yaitu (1) Profil resiko atau risk profile, (2) Good Corporate Governance (GCG), (3) Rentabilitas atau Earnings, dan (4) Permodalan atau Capital. Jadi PBI yang baru ini bisa disingkat- sekedar untuk memudahkan ingatan saja, menjadi RGEC . Profil resiko mencakup 8 jenis resiko yaitu (a) risiko kredit, (b) risiko pasar, (c) risiko likuiditas, (d) risiko operasional, (e) risiko hukum, (f) risiko stratejik, (g) risiko kepatuhan, dan (h) risiko reputasi. Jadi kayaknya, beberapa indikator pada CAMELS sebelumnya, ditataulang dan dimasukkan ke faktor baru pada RGEC.
Jika dipetakan secara lengkap, faktor kualitas asset (A), likuiditas (L), dan sensitivitas terhadap resiko pasar (S) pada pada Sistem CAMELS melebur ke dalam faktor profil resiko (R) pada Sistem RGEC, sedangkan faktor rentabilitas (E) dan permodalan (C) tetap ada pada sistem yang baru. Seolah-olah ada faktor baru yaitu Good Corporate Governance (G) yang menggantikan faktor Manajemen (M) pada sistem lama. Namun jika dicermati, kepatuhan terhadap penerapan GCG sudah masuk pada faktor Manajemen (M) pada sistem CAMELS yaitu dimasukkan pada komponen manajemen umum. Dua komponen lainnya untuk faktor Manajemen pada sistem CAMELS- yaitu Penerapan Sistem Manajemen Resiko dan Kepatuhan Bank, sebagian besar indikatornya diperkirakan masuk ke profil resiko pada sistem RGEC. Akhirnya tinggal GCG yang tersisa dalam faktor Manajemen. Jadilah GCG sebagai faktor tersendiri dalam sistem yang baru. Faktor GCG pada sistem baru pasti akan diperkaya terlebih dahulu oleh BI dengan beberapa model, prinsip atau praktek yang terbaru sesuai dengan perubahan atau perkembangan kondisi dan situasi terkini. Sebenarnya BI sudah mengeluarkan PBI Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum, sebagaimana telah diubah menjadi PBI Nomor 8/14/PBI/2006, dengan teknis pelaksanaannya tercantum pada SE Nomor 9/12/DPNP.
Sekarang kita tunggu saja Surat Edaran BI yang akan menjelaskan teknis pelaksanaan atau tata cara perhitungan selengkapnya, terutama matrik penilaian dan lembar kerja perhitungan lengkapnya. SE tersebut diperkirakan akan keluar sebelum Juli karena Bank harus melakukan uji coba sistem baru tersebut mulai Juli 2011.
Komentar
Posting Komentar