A.
PENGERTIAN, SYARAT SAHNYA, ASAS-ASAS, DAN SUMBER HUKUM KONTRAK
Kontrak atau contracts (dalam
bahasa inggris) dan overeenkomst (dalam bahasa belanda) dalam pengertian
yang lebih luas sering dinamakan juga dengan istilah perjanjian. Kontrak adalah
Peristiwa di mana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu perbuatan tertentu, biasanya secara tertulis.
Para pihak yang bersepakat mengenai
hal-hal yang diperjanjikan, berkewajiabn untuk menaati dan melaksanakannya,
sehingga perjanjian tersebut menimbulkan hubungan hokum yang disebut perikatan
(verbintenis).
2.
Syarat Sahnya Kontrak
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata
Kontrak adalah sah bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Syarat Subjektif, syarat ini
apabila dilanggar maka kontrak dapat dibatalkan, meliputi :
- Kecakapan untuk membuat kontrak
(dewasa dan tidak sakit ingatan);
- Kesepakatan mereka yang
mengikatkan dirinya.
b. Syarat Objekif, syarat ini
apabila dilanggar maka kontraknya batal demi hokum, meliputi :
- Suatu hal (objek) tertentu;
- Sesuatu sebab yang halal
(kuasa).
3.
Asas dalam Berkontrak
Menurut Pasal 1338 Ayat (1) KUH
Perdata menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari bunyi pasal tersebut
jelas sangat jelas terkandung asas :
- Konsensualisme, adalah
perjanjian itu telah terjadi juka telah consensus antara pihak-pihak yang
mengadakan kontrak;
- Kebebasan berkontrak, artinya
seseorang bebas untuk mengadakan perjanjian, bebas mengenai apa yang
diperjanjikan, bebas pula menentukan bentuk kontraknya;
- Pacta sunt servanda, artinya kontrak itu merupakan
undang-undang bagi pihak yang membuatnya (mengikat).
Di samping itu, beberapa asas lain
dalam standar kontrak :
- Asas Kepercayaan
- Asas Persamaan Hak
- Asas Moral
- Asas Keseimbangan
- Asas Moral
- Asas Kepatutan
- Asas Kebiasaan
- Asas Kepastian Hukum
4.
Asas dalam Berkontrak
Mengenai sumber hukum kontrak yang
bersumber dari undang-undang dijelaskan :
1. Persetujuan para pihak (kontrak);
2. Undang-undang, selanjutnya yang
lahir dari UU ini dapat dibagi :
- Undang-undang saja
- UU karena suatu perbuatan,
selanjutnya yang lahir dari UU karena suatu perbuatan dapat dibagi :
3. Yang dibolehkan (zaakwaarnaming);
4. Yang berlawanan dengan hukum,
misalnya seorang karyawan yang membocorkan rahasia perusahaan, meskipun dalam
kontrak kerja tidak disebutkan, perusahaan dapat saja menuntut karyawan
tersebut karena perbuatan itu oleh UU termasuk perbuatan yang melawan hukum (onrechtsmatige
daad), untuk hal ini dapat dilihat pasal 1356 KUH Perdata.
B.
SOMASI
Istilah pernyataan lalai ayau somasi
merupakan terjemahan dari ingebrekestelling. Somasi
diatur dalam Pasal 1238 KUH Perdata dan Pasal 1243 KUH Perdata.
Pengertian Somasi di dalam buku
Salim H.S.,S.H.,M.S. adalah teguran dari si berpiutang (kreditur) kepada si
berutang (debitur) agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian
yang telah disepakati antara keduanya.
Somasi timbul disebabkan debitur
tidak memenuhi prestasinya, sesuai dengan yang diperjanjikan. Ada tiga cara
terjadinya somasi itu, yaitu :
- Debitur melaksanakan prestasi
yang keliru, misalnya kreditur menerima sekeranjang jambu seharusnya
sekeranjang apel;
- Debitur tidak memenuhi
prestasi pada hari yang telah dijanjikan. Tidak memenuhi prestasi dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu kelambatan melaksanakan prestasi dan
sama sekali tidak memberikan prestasi. Penyebab tidak melaksanakan
prestasi sama sekali karena prestasi tidak mungkin dilaksanakan atau
karena debitur terang-terangan menolak memberikan prestasi.
- Prestasi yang dilaksanakan oleh
debitur tidak lagi berguna bagi kreditur setelah lewat waktu yang
diperjanjikan.
2.
Bentuk dan Isi Somasi
Bentuk somasi yang harus disampaikan
kreditur kepada debitur adalah dalam bentuk surat perintah atau sebuah akta
yang sejenis.
Yang berwenang mengeluarkan surat
perintah itu adalah kreditur atau pejabat yang berwenang untuk itu. Pejabat
yang berwenang adalah Juru sita, Badan Urusan piutang Negara, dan lain-lain.
Isi atau hal-hal yang harus dimuat
dalam surat somasi, yaitu :
- Apa yang dituntut (pembayaran
pokok kredit dan bunganya);
- Dasar tuntutan (perjanjian
kredit yang dibuat antara kreditur dan debitur); dan
- Tanggal paling lambat untuk
melakukan pembayaran angsuran, pada tanggal 15 juli 2002.
3.
Peristiwa-Peristiwa yang tidak Memerlukan Somasi
Ada lima macam peristiwa yang tidak
mensyaratkan pernyataan lalai, sebagaimana dikemukakan berikut ini (Niewenhuis,
1988).
a. Debitur menolak Pemenuhan.
Seorang kreditur tidak perlu
mengajukan somasi apabila debitur menolak pemenuhan prestasinya, sehingga
kreditur boleh berpendirian bahwa dalam sikap penolakan demikian suatu somasi
tidak akan menimbulkan suatu perubahan (HR 1-2-1957).
b. Debitur mengakui kelalaiannya.
Pengakuan demikian dapat terjadi
secara tegas, akan tetapi juga secara implicit (diam-diam), misalnya dengan
menawarkan ganti rugi.
c. Pemenuhan prestasi tidak mungkin
dilakukan.
Debitur lalai tanpa adanya somasi,
apabila prestasi (di luar peristiwa overmacht) tidak mungkin dilakukan,
misalnya karena debitur kehilangan barang yang harus diserahkan atau barang
tersebut musnah. Tidak perlunya pernyataan lalai dalam hal ini sudah jelas dari
sifatnya (somasi untuk pemenuhan prestasi).
d. Pemenuhan tidak berarti lagi (zinloos)
Tidak diperlukannya somasi, apabila
kewajiban debitur untuk memberikan atau melakukan, hanya dapat diberikan atau
dilakuakn dalam batas waktu tertentu, yang dibiarkan lampau. Contoh klasik,
kewajiban untuk menyerahkan pakaian pengantin atau peti mati. Penyerahan kedua
barang tersebut setelah perkawinan atau setelah pemakaman tidak ada artinya
lagi.
e. Debitur melakukan prestasi tidak
sebagaimana mestinya.
Kelima cara itu tidak perlu
dilakukan somasi oleh kreditur kepada debitur . debitur dapat langsung
dinyatakan wanprestasi.
C.
WANPRESTASI
1.
Pengertian Wanprestasi
Wanprestasi mempunyai hubungan yang
sangat erat dengan somasi. Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai
melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat
antara kreditur dengan debitur.
Dalam restatement of the law of
contacts (Amerika Serikat), Wanprestasi atau breach of contracts
dibedakan menjadi dua macam, yaitu
- Total breachts Artinya
pelaksanaan kontrak tidak mungkin dilaksanakan, sedangkan
- Partial breachts Artinya
pelaksanaan perjanjian masih mungkin untuk dilaksanakan.
Seorang debitur baru dikatakan
wanprestasi apabila ia telah diberikan somasi oleh kreditur atau Juru Sita.
Somasi itu minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditur atau Juru
sita. Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditur berhak membawa
persoalan itu ke pengadilan. Dan pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah
debitur wanprestasi atau tidak.
Menurut pasal 1234 KUH Perdata yang
dimaksud dengan prestasi adalah seseorang yang menyerahkan sesuatu,
melakukan sesuatu, dan tidak melakukan sesuatu, sebaiknya dianggap wanprestasi
bila seseorang :
- Tidak melakukan apa yang
disanggupi akan dilakukannya;
- Melaksanakan apa yang
dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
- Melakukan apa yang dijanjikan
tetapi terlambat; atau
- Melakuakan sesuatu yang menurut
kontrak tidak boleh dilakukannya.
Akibat dari wanprestasi itu biasanya
dapat dikenakan sanksi berupa ganti rugi, pembatalan kontrak, peralihan risiko,
maupun membayar biaya perkara.sebagai contoh seorang debitur (si berutang)
dituduh melakukan perbuatan melawan hukum, lalai atau secara sengaja tidak
melaksanakan sesuai bunyi yang telah disepakati dalam kontrak, jika terbukti,
maka debitor harus mengganti kerugian (termasuk ganti rugi + bunga + biaya
perkaranya). Meskipun demikian, debitor bisa saja membela diri dengan alasan :
- Keadaan memaksa (overmacht/force
majure);
- Kelalaian kreditor sendiri;
- Kreditor telah melepaskan
haknya untuk menuntut ganti rugi.
Menurut kamus Hukum, Wanprestasi
berarti kelalaian, kealpaan, cidera janji, tidak menepati kewajibannya dalam
perjanjian.[5]
Dengan demikian, Wanprestasi adalah suatu keadaan dimana seorang debitur
(berutang) tidak memenuhi atau melaksanakan prestasi sebagaimana telah
ditetapkan dalam suatu perjanjian.
Wanprestasi (lalai/alpa) dapat
timbul karena;
- Kesengajaan atau kelalaian
debitur itu sendiri.
- Adanya keadaan memaksa (overmacht).
2.
Macam-macam Wanprestasi
Adapun seorang debitur yang dapat
dikatakan telah melakukan wanprestasi ada 4 macam, yaitu :
- Debitur tidak memenuhi prestasi
sama sekali.
- Debitur memenuhi prestasi,
tetapi tidak sebagaimana mestinya.
- Debitur memenuhi prestasi,
tetapi tidak tepat pada waktunya.
- Debitur memenuhi prestasi,
tetapi melakukan yang dilarang dalam perjanjian.
3.
Mulai terjadinya Wanprestasi
Pada umumnya, suatu wanprestasi baru
terjadi jika debitur dinyatakan telah lalai untuk memenuhi prestasinya, atau
dengan kata lain, wanprestasi ada kalau debitur tidak dapat membuktikan bahwa
ia telah melakukan wanprestasi itu di luar kesalahannya atau karena keadaan
memaksa. Apabila dalam pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan tenggang
waktunya, maka seorang kreditur dipandang perlu untuk memperingatkan/menegur
debitur agar ia memenuhi kewajibannya. Teguran ini disebut dengan sommatie (Somasi).
4.
Akibat adanya Wanprestasi
Ada empat akibat adanya wanprestasi,
yaitu sebagai berikut.
- Perikatan tetap ada.
- Debitur harus membayar ganti
rugi kepada kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata).
- Beban resiko beralih untuk
kerugian debitur, jika halangan itu timbul setelah debitur wanprestasi,
kecuali bila ada kesenjangan atau kesalahan besar dari pihak kreditur.
Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan
memaksa.
- Jika perikatan lahir dari
perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya
memberikan kontra prestasi dengan menggunakan pasal 1266 KUH Perdata.
Akibat wanprestasi yang dilakukan
debitur, dapat menimbulkan kerugian bagi kreditur, sanksi atau akibat-akibat
hukum bagi debitur yang wanprestasi ada 4 macam, yaitu:
- Debitur diharuskan membayar
ganti-kerugian yang diderita oleh kreditur (pasal 1243 KUH Perdata).
- Pembatalan perjanjian disertai
dengan pembayaran ganti-kerugian (pasal 1267 KUH Perdata).
- Peralihan risiko kepada debitur
sejak saat terjadinya wanprestasi (pasal 1237 ayat 2 KUH Perdata).
- Pembayaran biaya perkara apabila
diperkarakan di muka hakim (pasal 181 ayat 1 HIR).
Dalam hal debitur tidak memenuhi
kewajibannya atau tidak memenuhi kewajibannya swbagaimana mestinya dan tidak
dipenuhinya kewajiban itiu karena ada unsure salah padanya, maka seperti telah
dikatakan bahwa ada akibat-akibat hokum yang atas tuntutan dari kreditur bisa
menimpa dirinya.
Sebagaimana yang disebutkan dalam
pasal 1236 dan 1243 dalam hal debitur lalai untuk memenuhi kewajiban
perikatannya kreditur berhak untuk menuntut penggantian kerugian, yang berupa
ongkos-ongkos, kerugian dan bunga. Selanjutnya pasal 1237 mengatakan, bahwa
sejak debitur lalai, maka resiko atas objek perikatan menjadi tanggungan
debitur. Yang ketiga adalah bahwa kalau perjanjian itu berupa perjanjian
timbale balik, maka berdasarkan pasal 1266 sekarang kreditur berhak untuk
menuntut pembatalan perjanjian, dengan atau tanpa disertai dengan tuntutan
ganti rugi.
5.
Pembelaan Debitur yang Wanprestasi
Seorang debitur yang dituduh lalai
dan dimintakan supaya kepadanya diberikan hukuman atas kelalaiannya, ia dapat
membela dirinya dengan mengajukan beberapa macam alas an untuk membebaskan
dirinya dari hukuman-hukuman itu. Pembelaan tersebut ada 3 macam, yaitu:
- Menyatakan adanya keadaan
memaksa (overmacht).
- Menyatakan bahwa kreditur
lalai.
- Menyatakan bahwa kreditur telah
melepaskan haknya.
6.
Ganti Kerugian dalam Wanprestasi
1.
Pengertian ganti-kerugian
Penggantian biaya, rugi dan bunga
karena tidak dipenuhinya suatu perjanjian, barulah mulai diwajibkan apabila
debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perjanjiannya tetap melalaikannya,
atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau
dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya (Pasal 1243 KUH Perdata).
Dengan demikian pada dasarnya, ganti-kerugian itu adalah ganti-kerugian yang
timbul karena debitur melakukan wanprestasi.
2.
Unsur-unsur ganti-kerugian
Menurut ketentuan Pasal 1246 KUH
Perdata, ganti-kerugian itu terdiri atas 3 unsur, yaitu :
- Biaya, yaitu segala pengeluaran
atau ongkos-ongkos yang nyata-nyata telah dikeluarkan.
- Rugi, yaitu kerugian karena
kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian
debitur.
- Bunga, yaitu keuntungan yang
seharusnya diperoleh atau diharapkan oleh kreditur apabila debitur tidak
lalai.
3.
Batasan-batasan mengenai ganti-kerugian
Undang-undang menentukan, bahwa
kerugian yang harus dibayarkan oleh debitur kepada kreditur sebagai akibat dari
wanprestasi adalah sebagai berikut :
- Keruguian yang dapat diduga
ketika perjanjian dibuat. Menurut pasal 1247 KUH Perdata, debitur hanya
diwajibkan membayar ganti-kerugian yang nyata telah atau sedianya harus
dapat diduganya sewaktu perjanjian dibuat, kecuali jika hal tidak
dipenuhinya perjanjian itu disebabkan oleh tipu daya yang dilakukan
olehnya.
- Kerugian sebagai akibat
langsung dari wanprestasi. Menurut Pasal 1248 KUH Perdata, jika tidak
dipenuhinya perjanjian itu disebabkan oleh tipu daya debitur, pembayaran
ganti-kerugian sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh kreditur dan
keuntungan yang hilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan
akibat langsung dari tidak dipenuhinya perjanjian.
7.
Tuntutan Atas Dasar Wanprestasi
Kreditur dapat menuntut kepada
debitur yang telah melakukan wanprestasi hal-hal sebagai berikut.
- Kreditur dapat meminta
pemenuhan prestasi saja dari debitur.
- Kreditur dapat menuntut
prestasi disertai ganti rugi kepada debitur (Pasal 1267 KUH Perdata).
- Kreditur dapat menuntut dan
meminta ganti rugi, hanya mungkin kerugian karena keterlambatan (HR 1
November 1918).
- Kreditur dapat menuntut
pembatalan perjanjian.
- Kreditur dapat menuntut
pembatalan disertai ganti rugi kepada debitur. Ganti rugi itu berupa
pembayaran uang denda.
Kalau debitur tidak memenuhi
janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat
dipersalahkan kepadanya, maka dikatakan bahwa debitur wanprestasi.
Wujud wanprestasi bisa :
a. Debitur sama sekali tidak
berprestasi
Dalam hal ini debitur sama sekali
tidak memberikan prestasi. Hal itu bisa disebabkan karena debitur memang tidak
mau berprestasi atau bisa juga disebabkan karena memang debitur objektif tidak
mungkin berprestasi lagi atau secara subjektif tidak ada gunanya lagi untuk
berprestasi.
b. Debitur keliru berprestasi
Di sini debitur memang dalam
fikirannya telah memberikan prestasinya, tetapi dalam kenyataannya, yang
diterima kreditur lain daripada yang diperjanjikan.
c. Debitur terlambat berprestasi
Di sini debitur berprestasi, objek
prestasinya betul, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan.
9.
Wanprestasi dan Pernyataan Lalai
Kalau debitur menunutut debitur agar
ia memenuhi kewajiban prestasinya, maka kreditur menuntut debitur berdasarkan
perikatan yang ada antara mereka. Karena dasar tuntutannya adalah perikatan
yang memang sudah ada antara mereka, maka untuk menuntut pemenuhan perikatan,
kreditur tidak perlu untuk mendahuluinya dengan suatu somasi.
10. Memperbaiki
Kelalaian
Dalam hal seorang debitur telah
disomir dan dia telah melewatkan tenggang waktu yang diberikan kepadanya, tanpa
memberikan prestasi yang menjadi kewajiban perikatannya, maka ia ada dalam
keadaan lalai.
D.
GANTI RUGI
1.
Sebab timbulnya ganti rugi
Ada dua sebab timbulnya ganti rugi,
yaitu
a. Ganti rugi karena wanprestasi.
Ganti rugi karena wanprestasi adalah
suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi isi
perjanjian yang telah dibuat antara kreditur dengan debitur.
Ganti rugi karena wanprestasi ini
diatur dalam Buku III KUH Perdata, yang dimulai dari Pasal 124 KUH Perdata s.d.
Pasal 1252 KUH Perdata. sedangkan
b. Perbuatan melawan hukum.
Ganti rugi karena perbuatan melawan
hukum adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah
menimbulkan kesalahan kepada pihak yang dirugikannya. Ganti rugi itu timbul
karena adanya kesalahan, bukan karena adanya perjanjian.
Ganti rugi karena perbuatan melawan
hukum ini diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata.
Ganti kerugian yang dapat dituntut
oleh kreditur kepada debitur adalah sebagai berikut
- Kerugian yang telah
dideritanya, yaitu berupa penggantian biaya-biaya dan kerugian.
- Keuntungan yang sedianya akan
diperoleh (Pasal 1246 KUH Perdata), ini ditujukan kepada bunga-bunga.
Yang diartikan sebagai biaya-biaya
(ongkos-ongkos), yaitu ongkos yang telah dikeluarkan oleh kreditur untuk
mengurus objek perjanjian. Sedangkan bunga-bunga adalah keuntungan yang
akan dinikmati oleh kreditur.
2.
Tuntutan Ganti Rugi
Selanjutnya pasal-pasal 1243-1252
mengatur lebih lanjut mengenai ganti rugi. Prinsip dasarnya adalah bahwa
wanprestasi mewajibkan penggantian kerugian; yang diganti meliputi ongkos,
kerugian dan bunga. Dalam peristiwa-peristiwa tertentu disamping tuntutan ganti
rugi ada kemungkinan tuntutan pembatalan perjanjian, pelaksanaan hak retensi
dan hak reklame.
Karena tuntutatn ganti rugi dalam
peristiwa-peristiwa seperti tersebut di atas diakui, bahkan diatur oleh
undang-undang, maka untuk pelaksanaan tuntutan itu, kreditur dapat minta
bantuan untuk pelaksanaan menurut cara-cara yang ditentukan dalam Hukum acara
perdata, yaitu melalui sarana eksekusi yang tersedia dan diatur disana, atas
harta benda milik debitur. Prinsip bahwa debitur bertanggung jawab atas
kewajiban perikatannya dengan seluruh harta bendanmya telah diletakkan dalam
pasal 1131 KUH Perdata.
D.
KEADAAN MEMAKSA
1.
Dasar Hukum dan Pengertian Keadaan Memaksa
Ketentuan tentang overmacht (keadaaan
memaksa) dapat dilihat dan di baca dalam pasal 1244 KUH Perdata yang berbunyi:
“Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian, dan bunga, bila tak
dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya
waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tidak
terduga, yang tak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya, walaupun tidak ada
itikad buruk padanya. “ dan pasal 1245 KUH Perdata berbunyi: “Tidak ada
penggantian biaya,kerugian, dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena
hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau
berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan sesuatu perbuatan yang
terhalang olehnya.”
Ada
tiga hal yang menyebabkan debitur tidak melakukan penggantian biaya, kerugian
dan bunga, yaitu:
- Adanya suatu hal yang tak
terduga sebelumnya, atau
- Terjadinya secara kebetulan,
dan atau
- Keadaan memaksa.
Yang diartikan dengan keadaan
memaksa adalah suatu keadaan di mana debitur tidak dapat melakukan
prestasinya kepada kreditur, yang disebabkan adanya kejadian yang berada di
luar kekuasaannya. Misalnya karena adanya gempa bumi, banjir, lahar, dan
lain-lain.
Menurut Prof.
Subekti, S.H. Keadaan memaksa adalah Suatu
keadaan tidak dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti-rugi.
Menurut Abdulkadir
Muhammad, S.H. Keadaan memaksa adalah keadaan
tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadi suatu peristiwa
bukan karena kesalahannya, peristiwa mana tidak dapat diketahui atau tidak
dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan.
Menurut R.
Setiawan, S.H.
Keadaan memaksa adalah suatu keadaan
yang terjadi setelah dibuatnya peretujuan, yang menghalangi debitur untuk
memenuhi prestasinya, di mana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus
menanggung risiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat.
2.
Unsur-unsur Keadaan Memaksa
Unsur-unsur yang terdapat dalam
keadaan memaksa menurut Abdulkadir Muhammad adalah :
- Tidak dipenuhi prestasi, karena
suatu peristiwa yang membinasakan atau memusnahkan benda yang menjadi
obyek perikatan. Ini selalu bersifat tetap.
- Tidak dapat dipenuhi prestasi
karena suatu peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk
berprestasi. Ini dapat bersifat tetap atau sementara.
- Peristiwa itu tidak dapat
diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan, baik oleh
debitur maupun oleh kreditur. Jadi, bukan karena kesalahan pihak-pihak
khususnya debitur.
3.
Pengaturan keadaan memaksa dalam KUH Perdata
Dalam KUH Perdata, soal keadaan
memaksa ini diatur dalam pasal 1244 dan pasal 12425 KUH Perdata. Tetapi dua
pasal yang mengatur keadaan memaksa ini hanya bersifat sebagai pembelaan untuk
dibebaskan dari pembayaran ganti-kerugian debitur tidak memenuhi perjanjian
karena adanya keadaam memaksa, ketentuan dua pasal tersebut adalah sebagai
berikut :
- Menurut Pasal 1244 KUH Perdata,
jika ada alas an untuk itu, debitur harus dihukum membayar ganti-kerugian,
apabila ia tidak dapat membuktikan bahwa tidak tepatnya melaksanakan
perjanjian itu karena sesuatu hal yang tidak dapat diduga yang tidak dapat
dipertanggung jawabkan kepadanya, kecuali jika ada itikad buruk pada
debitur.
- Menurut Pasal 1245 KUH Perdata,
tidak ada ganti-kerugian yang harus dibayar, apabila karena keadaan
memaksa atau suatu kejadian yang tidak disengaja, debitur berhalangan
memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang
sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.
4.
Macam Keadaan Memaksa
Keadaan memaksa dapat dibagi menjadi
dua macam, yaitu
a. Keadaan memaksa absolut.
Yaitu Suatu keadaan di mana debitur
sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena
adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar.
b. Keadaan memaksa yang relativ.
Yaitu Suatu keadaan yang menyebabkan
debitur masih mungkin untuk melaksanakan prestasinya. Tetapi pelaksanaan
prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban yang besar yang tidak
seimbang atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau
kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar.
5.
Teori-Teori Keadaan Memaksa
Ada dua teori yang membahas tentang
keadaan memaksa, yaitu
a. Teori Ketidakmungkinan (onmogelijkeheid)
Teori ini berpendapat bahwa
keadaan memaksa adalah suatu keadaan tidak mungkin melakukan pemenuhan prestasi
yang diperjanjikan.
Ketidakmungkinan dapat dibedakan
menjadi dua macam yaitu:
b. Ketidakmungkinan absolute atau
objektif (absolut onmogelijkheid), yaitu suatu ketidakmungkinan sama
sekali dari debitur untuk melakukan prestasinya pada kreditur.
- Ketidakmungkinan relatif atau
ketidakmungkinan subjektif (relative onmogelijkeheid), Yaitu suatu
ketidakmungkinan relatif dari debitur untuk memenuhi prestasinya.
- Teori Penghapusan atau
peniadaan kesalahan (afwesigheid van schuld).
Teori atau ajaran penghapusan atau peniadaan
kesalahan (afwesigheid van schuld), berarti dengan adanya overmacht
terhapuslah kesalahan debitur atau overmacht peniadaan kesalahan.
Sehinggga akibat kesalahan yang telah ditiadakan tadi tidak boleh atau bisa
dipertanggung jawabkan (Harahap, 1986: 84).
3.
Akibat Keadaan Memaksa
Ada tiga akibat keadaan memaksa,
yaitu :
- Debitur tidak perlu membayar
ganti rugi (pasal 1244 KUH Perdata);
- Beban resiko tidak berubah,
terutama pada keadaan memaksa sementara;
- Kreditur tidak berhak atas
pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari kewajibannya
untuk menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk yang disebut dalam pasal
1460 KUH perdata.
Ketiga akibat itu dibedakan
menjadi dua macam, yaitu:
- Akibat keadaan memaksa absolut,
yaitu akibat nomor a dan c.
- Akibat keadaan memaksa
relative, yaitu akibat nomor b.
Menurut Soebekti (2001: 144), untuk
dapat dikatakan suatu “Keadaan Memaksa” (overmacht/force mayure) bila
keadaan itu:
- Di luar kekuasaannya;
- Memaksa; atau
- Tidak dapat diketahui
sebelumnya.
Keadaan memaksa ada yang bersifat
mutlak (absolute), contohnya, bencana alam seperti banjir, gempa bumi,
tanah longsor, dan lain-lain. Sedangkan yang bersifat tidak mutlak (relative),
contohnya berupa suatu keadaan dimana kontrak masih dapat dilaksanakan, tapi
dengan biaya yang lebih tinggi, misalnya terjadi perubahan harga yang tinggi
secara mendadak akibat dari regulasi pemerintah terhadap produk tertentu;
krisis ekonomi yang mengakibatkan ekspor produk terhenti sementara; dan
lain-lain.
E.
Risiko
1.
Pengertian Risiko
Dalam teori hukum dikenal suatu
ajaran yang disebut dengan resicoleer (ajaran tentang risiko). Resicoleer
adalah suatu ajaran, yiatu seseorang berkewajiban untuk memikul
kerugian, jika ada sesuatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang
menimpa benda yang menjadi objek perjanjian.
Ajaran ini dapat diterapkan pada
perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik. Perjanjian sepihak adalah
suatu perjanjian, di mana salah satu pihak aktif melakukan prestasi, sedangkan
pihak lainnya pasif.
Perjanjian
tombal balik adalah
suatu perjanjian yang kedua belah pihak diwajibkan untuk melakukan prestasi,
sesuai dengan kesepakatan yang dibuat antara keduanya. Yang termasuk perjanjian
timbal balik, yiatu jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, dan
lain-lain.
Menurut Soebekti (2001: 144),
Risiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian jika ada suatu kejadian di luar
kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam kontrak.
Disini berarti beban untuk memikul tanggung jawab dari risiko itu hanyalah
kepada salah satu pihak saja, dan alangkah baiknya dalam setiap kontrak itu
resiko diletakkan dan menjadi tanggung jawab kedua belah pihak.
Menurut Prof. Subekti, Kata risiko berarti kewajiban untuk
memikul kerugian jikalau di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda
yang dimaksudkan dalam perjanjian. Sedangkan menurut Abdulkadir Muhammad
keadaan lainnya, risiko ialah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi
keadaan memaksa, yaitu peristiwa bukan karena kesalahan debitur, yang menimpa
benda yang menjadi obyek perikatan atau menghalangi perbuatan debitur memenuhi
prestasi.
2.
Pengaturan Risiko dalam KUH Perdata
- Menurut Pasal 1237 KUH Perdata,
dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu,
kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si
berpiutang.
- Menurut Pasal 1460 KUH Perdata,
jika kebendaan yang dipikul itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan,
maka barang ini sejak saat pembelian adalah atas tanggungan si pembeli,
meskipun penyerahannya belum dilakukan, dan si penjual berhak menuntut
harganya. Pasal ini mengatur mengenai risiko dalam perjanjian jual-beli.
- Menurut Pasal 1545 KUH Perdata,
jika suatu barang tertentu yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah di
luar salah pemiliknya, maka perjanjian dianggap sebagai gugur, dan siapa
yang dari pihaknya telah memnuhi perjanjian, dapat menuntut kembali barang
yang ia telah diberikan dalam tukar-menukar. Pasal ini mengatur mengenai
risiko dalam perjanjian tukar-menukar.
- Menurut Pasal 1553 ayat (1) KUH
Perdata, jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah
karena suatu kejadian yang tak disengaja, maka perjanjian sewa gugur demi
hukum. Pasal ini mengatur mengenai risko dalam risiko perjanjian
sewa-menyewa.
Komentar
Posting Komentar